Selasa, 25 Desember 2018

TENTANG RASA SYUKUR....

Libur akhir tahun, seperti biasa saya menyempatkan untuk pulang kampung, karena liburan kali ini lumayan lama saya menyempatkan untuk bersilaturahmi ke salah saorang teman yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri. Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya teman saya tadi bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini yaitu berjualan nasi uduk. “Alhamdulillah langganan saya lumayan banyak....” dia bercerita dengan mata berbinar pertanda dia menyukai kesibukannya tersebut. “Dalam sehari saya bisa dapat untung 15 ribu, saya bersyukur, karena dengan kesibukan ini, anak-anak saya bisa tiap hari makan nasi uduk, bisa makan kerupuk dan tempe goreng setiap hari, sampai bosan... saya juga bisa membayar uang sekolah anak saya... pokoknya dapat untung dikit nggap apa-apa yang penting usaha ini lancar....” cerita ini mengalir tanpa beban dan terasa sangat menyenangkan.

Saya tercekat mendengar cerita itu, dada saya seolah-olah dihimpit oleh ribuan rasa bersalah. Bagaimana tidak, teman saya untuk mendapatkan uang 15 ribu harus bersusah payah seperti itu, bangun jam 4 pagi, memarut kelapa, membuat sambal, menggoreng tempe, dan setelah dibungkus dia harus mengantarkan kepada setiap langganannya. Begitu payah untuk uang 15 ribu, sedangkan saya.... Saya tipe orang yang boros dan ceroboh dalam menggunakan uang, apakah mungkin karena memang sudah sifat saya atau mungkin karena saya tidak begitu kesulitan untuk mencari uang sehingga saya jadi begitu mudah untuk menghambur-hamburkannya. Saya merasa bersalah dengan sifat saya selama ini, kenapa tidak pernah bisa mengendalikan keinginan-keinginan yang sebenarnya bisa saya redam, tidak bisa menolak keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak harus saya penuhi. 

Teman saya tadi bukan orang yang berpendidikan tinggi dia juga tidak bisa dikatakan sebagai orang yang pandai bergaul, tapi sungguh saya salut dengan cara berfikirnya, saya kagum dengan caranya mengelola setiap urusan hidupnya. Saya melihat betapa dia menikmati setiap ketentuan yang sudah digariskan Allah untuknya, menikmati setiap tetesan usaha yang dia kerjakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, menikmati setiap apapun yang dia dapatkan dalam hidupnya....Mungkin karena dia selalu menyukuri setiap rezeki yang dia terima sehingga Allah kemudian mencukupkan setiap kebutuhannya. .....

Pulang dari berkunjung saya dihinggapi rasa gelisah yang luar biasa, kenapa saya yang bisa dikatakan mapan untuk urusan penghasilan dan pendidikan tapi tidak pernah menata hati saya untuk menyukuri setiap nikmat yang sudah diberikan Allah kepada saya. Saya selalu merasa kurang, serakah, dan apapun yang saya lakukan orentasinya adalah uang. Bisakah saya mencontoh cara berfikir dan cara hidup teman saya tadi....? Saya tidak terlalu yakin, tapi saya akan mencobanya. Bantu saya ya Allah....(untuk teman sekaligus saudara Dwi Riani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar