Ceritanya mau melanjutkan bahasan tentang disonansi
kognitif, tapi karena ada kegiatan
mendampingi anak-anak untuk Seleksi Duta
Lingkungan Hidup Tingkat Kabupaten, akhirnya ya nggak ada postingan untuk blog
ini kemarin. Mana ketika pulang mobil mengalami masalah pada rodanya,
makanya terus tumbuh rasa males, segan, dan gitu deh, karena rasa penat dan capek
akhirnya nggak nulis. Nah kok bahasannya sampai mana-mana ya, bukankah kemarin
kita akan mencari sebab kenapa orang bisa mengalami
disonansi kognitif. Aah biasa....ngeles terus.
Untuk mengingatkan definisi disonansi kognitif ini kita kutipkan pendapat seorang ahli ya “menurut Wibowo
(Sarwono, S.W ; 2009) disonansi
kognitif adalah keadaan tidak nyaman akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua sikap atau
lebih, serta antara sikap dan tingkah laku”. Masih sama kan dengan definisi
yang kemarin, cuma kali ini biar bahasannya
keliatan agak bener kita pake teori seorang ahli ya....heheheheheh...
Sebenarnya disonansi kognitif adalah sebuah terori
komunikasi, teori ini dikemukakan oleh Festinger tahun 1957 ( nah ternyata udah tua juga teori ini, dan
aku baru tau sekarang, setelah teori ini
berumur 60 tahunan, kudet banget ya..., tapi nggak pa-pa, daripada sama sekali
nggak tau, mendingan sekaranglah ya, walau terlambat....). Masih menurut Festinger ada empat sebab seseorang bisa mengalami disonansi kognitif (kalau ini beneran menurut ahlinya
ya, tapi contoh yang diberikan merupakan
pandangan pribadi, jadi kalau ada salah-salahnya ya maklum aja, namanya juga
belajar menganalisis sebuah permasalahan....)- Inkonsistensi
logika (Logical inconsitensy) yaitu logika berpikir mengingkari logika berfikir
yang lain. Seorang siswa menyadari
bahwa peraturan dan tata tertib
yang diberlakukan di sekolah adalah demi sebuah keteraturan. Tapi siswa
tadi mengalami disonansi ketika menyadari bahwa peraturan yang diterapkan
di sekolah ternyata menyiksanya. Dan untuk keluar dari perasaan tidak
nyaman ini, siswa tersebut dengan kesadaran yang penuh melanggar tata
tertib sekolah. Siswa tadi berusaha tidak percaya bahwa peraturan dan tata
tertib adalah upaya sekolah untuk mewujudkan kenyamanan dan kedisiplinan.
- Nilai
budaya (cultural mores) bahwa
kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya kemungkinan akan berbeda
di budaya yang lain. Seperti kita ketahui bahwa budaya itu berlaku dalam
satu kawasan, artinya budaya disuatu daerah mungkin akan berbeda di daerah
lain. Ada suatu bentuk budaya yang di daerah lain dianggap bagus atau
baik, tapi di suatu daerah mungkin tindakan itu dinilai kurang sopan. Nah teman-teman pasti punya contoh yang
lebih konkret tentang perbedaan budaya ini kan. Nah perbedaan-perbedaan
ini tak pelak akan menjadi kesenjangan ketika seseorang yang sudah akrab
dengan budaya daerahnya harus menerima budaya lain yang dianggapnya bertentangan
dengan budaya yang selama ini dianutnya.
- Opini umum (opinion generality) disonansi
mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan pendapat umum. Semua orang pasti
tau bahwa berbakti kepada orang tua adalah sebuah sikap yang harus
dimiliki seorang anak. Dalam hal ini, anak yang tidak berbakti kepada
orang tua dikatakan sebagai anak durhaka. Namun seorang anak bisa
mengalami disonansi ketika mendapati bahwa ternyata orang tua melakukan
kekerasan kepada anaknya. Si anak
tidak berdaya dengan keadaan ini karena opini umum menuntut anak untuk
berbakti kepada orang tuanya, semakin tidak nyaman anak, maka disonansi atau kesenjangan ini akan semakin melebar.
- Pengalaman
masa lalu (past experience) disonansi akan muncul bila sebuah kognisi
tidak konsisten dengan pengalaman
masa lalunya. Misalnya ketika seseorang
mengalami sakit asma. Dia divonis kalau sampai terkena AC makanya
penyakitnya akan kambuh. Tapi, ternyata ketika suatu hari dia terpapar AC
dia tidak mengalami apa-apa. Seseorang tadi akan cenderung mengalami
disonansi karena pengalaman masa lalu ternyata tidak sesuai dengan apa yang terjadi sekarang, nah
teman-teman pernah mengalami kejadian semacam ini nggak ya....
Wah lumayan panjang juga
bahasan kita kali ini, satu-satunya bahasan yang panjangnya lebih dari dua
lembar,
bukan karena penulisnya yang pintar tapi karena tulisan kali ini banyak yang
meminjam pendapat ahli. Kalau sudah ahli yang bicara biasanya tulisan akan
nilai sebagai tulisan yang berbobot, jadi bukan berat badan aja yang ada
bobotnya, tapi tulisan juga....
Nah udah tau
bentuk-bentuk disonansi kognitf, udah tau
juga penyebabnya, mungkin bahasan selanjutnya kita akan bahas cara
menghilangkan disonansi kognitif ini ya....mungkin ditulisan yang akan datang,
atau kapanlah, karena ternyata tulisan-tulisan semacam ini disamping menambah
wawasan juga menambah rasa percaya diri, nah lo kok bisa, iyalah....paling
nggak ketika sekarang kita diajak
ngobrol tentang bahasan ini kita nggak plongo-plongo lagi, tapi
plonga-plonga.....heheheeh....
Saat ngawas
PTS di XII. IPS. 2 Sejarah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar