Kamis, 10 Oktober 2019

DISONANSI KOGNITIF....(lanjutan)


Ceritanya  mau melanjutkan bahasan tentang disonansi kognitif, tapi karena ada kegiatan mendampingi anak-anak untuk Seleksi  Duta Lingkungan Hidup Tingkat Kabupaten, akhirnya ya nggak ada postingan untuk blog ini kemarin. Mana ketika pulang mobil mengalami masalah pada rodanya, makanya  terus tumbuh rasa males, segan, dan gitu deh, karena rasa penat dan capek akhirnya nggak nulis. Nah kok bahasannya sampai mana-mana ya, bukankah kemarin kita akan mencari sebab kenapa  orang bisa mengalami disonansi kognitif. Aah biasa....ngeles terus. 

Untuk  mengingatkan definisi disonansi kognitif  ini kita  kutipkan  pendapat seorang ahli ya “menurut Wibowo (Sarwono, S.W ; 2009) disonansi kognitif adalah keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian  antara dua sikap atau lebih, serta antara sikap dan tingkah laku”. Masih sama kan dengan definisi yang kemarin, cuma kali ini biar bahasannya  keliatan agak bener kita pake teori seorang ahli ya....heheheheheh...

Sebenarnya disonansi kognitif adalah sebuah terori komunikasi, teori ini dikemukakan oleh Festinger tahun 1957  ( nah ternyata udah tua juga teori ini, dan aku baru tau sekarang,  setelah teori ini berumur 60 tahunan, kudet banget ya..., tapi nggak pa-pa, daripada sama sekali nggak tau, mendingan sekaranglah ya, walau terlambat....).  Masih menurut Festinger ada empat   sebab seseorang bisa mengalami disonansi kognitif (kalau ini beneran menurut ahlinya  ya, tapi contoh yang diberikan merupakan pandangan pribadi, jadi kalau ada salah-salahnya ya maklum aja, namanya juga belajar menganalisis sebuah permasalahan....)

  1. Inkonsistensi logika (Logical inconsitensy) yaitu logika berpikir mengingkari logika berfikir yang lain.  Seorang siswa menyadari bahwa peraturan  dan tata tertib yang diberlakukan di sekolah adalah demi sebuah keteraturan. Tapi siswa tadi mengalami disonansi ketika menyadari bahwa peraturan yang diterapkan di sekolah ternyata menyiksanya. Dan untuk keluar dari perasaan tidak nyaman ini, siswa tersebut dengan kesadaran yang penuh melanggar tata tertib sekolah. Siswa tadi berusaha tidak percaya bahwa peraturan dan tata tertib adalah upaya sekolah untuk mewujudkan kenyamanan dan kedisiplinan.
  2. Nilai budaya (cultural mores)  bahwa kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya kemungkinan akan berbeda di budaya yang lain. Seperti kita ketahui bahwa budaya itu berlaku dalam satu kawasan, artinya budaya disuatu daerah mungkin akan berbeda di daerah lain. Ada suatu bentuk budaya yang di daerah lain dianggap bagus atau baik, tapi di suatu daerah mungkin tindakan itu dinilai kurang sopan.  Nah teman-teman pasti punya contoh yang lebih konkret tentang perbedaan budaya ini kan. Nah perbedaan-perbedaan ini tak pelak akan menjadi kesenjangan ketika seseorang yang sudah akrab dengan budaya daerahnya harus menerima budaya lain yang dianggapnya bertentangan dengan budaya yang selama ini dianutnya.
  3. Opini umum (opinion generality)  disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda  dengan pendapat umum. Semua orang pasti tau bahwa berbakti kepada orang tua adalah sebuah sikap yang harus dimiliki seorang anak. Dalam hal ini, anak yang tidak berbakti kepada orang tua dikatakan sebagai anak durhaka. Namun seorang anak bisa mengalami disonansi ketika mendapati bahwa ternyata orang tua melakukan kekerasan kepada anaknya.  Si anak tidak berdaya dengan keadaan ini karena opini umum menuntut anak untuk berbakti kepada orang tuanya, semakin tidak nyaman anak,  maka disonansi atau kesenjangan ini  akan semakin melebar.
  4. Pengalaman masa lalu (past experience) disonansi akan muncul bila sebuah kognisi tidak konsisten  dengan pengalaman masa lalunya. Misalnya ketika seseorang  mengalami sakit asma. Dia divonis kalau sampai terkena AC makanya penyakitnya akan kambuh. Tapi, ternyata ketika suatu hari dia terpapar AC dia tidak mengalami apa-apa. Seseorang tadi akan cenderung mengalami disonansi karena pengalaman masa lalu ternyata tidak sesuai dengan  apa yang terjadi sekarang, nah teman-teman pernah mengalami kejadian semacam ini nggak ya....
Wah lumayan panjang juga bahasan kita kali ini, satu-satunya bahasan yang panjangnya lebih dari dua lembar, bukan karena penulisnya yang pintar tapi karena tulisan kali ini banyak yang meminjam pendapat ahli. Kalau sudah ahli yang bicara biasanya tulisan akan nilai sebagai tulisan yang berbobot, jadi bukan berat badan aja yang ada bobotnya, tapi tulisan juga....

Nah udah tau bentuk-bentuk  disonansi kognitf, udah tau juga penyebabnya, mungkin bahasan selanjutnya kita akan bahas cara menghilangkan disonansi kognitif ini ya....mungkin ditulisan yang akan datang, atau kapanlah, karena ternyata tulisan-tulisan semacam ini disamping menambah wawasan juga menambah rasa percaya diri, nah lo kok bisa, iyalah....paling nggak  ketika sekarang kita diajak ngobrol tentang bahasan ini kita nggak plongo-plongo lagi, tapi plonga-plonga.....heheheeh....
Saat ngawas PTS di XII. IPS. 2 Sejarah Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar